Tantangan Pendidikan Era Society 5.0

Oleh : Luluk Khotimah, S.Pd

Seiring perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami perubahan fundamental, super cepat dan dinamis membawa dampak yang signifikan bagi segala aspek kehidupan manusia. Kehadiran robotic technology, artificial intelligence, machine learning, biotechnology, internet of things, big data dan driverless vehicle merupakan produk teknologi modern yang kemudian melahirkan revolusi industri 4.0 dengan menekankan aspek digitalisasi dan otomatisasi sehingga tercipta sistem teknologi modern yang lebih efektif dan efisien tanpa campur tangan manusia. Revolusi industri 4.0 atau dikenal juga sebagai era disrupsi teknologi digital merupakan masa terjadinya inovasi dan perubahan secara massif dan fundamental, yang mengubah sistem dan tatanan aspek kehidupan yang lama menjadi lebih baru karena adanya inovasi dan kreatifitas baru.

Era Revolusi Industri 4.0 mendorong terjadinya disrupsi pada berbagai bidang kehidupan manusia termasuk salah satunya dunia pendidikan, yang dapat memberikan peluang sekaligus tantangannya. Dipandang peluang karena perkembangan teknologi digital memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi siapapun untuk mengakses informasi dan pengetahuan menembus batas ruang dan waktu melalui internet of things. Sedangkan tantangannya, siapapun mudah mengakses situs-situs porno atau judi online, siswa lebih mendahulukan asyik berselancar didunia maya dengan membuka dan memainkan aplikasi game onlinenya dari pada mengakses materi pembelajarannya, pendidik lebih asyik update status media sosialnya dari pada mengupgrade kemampuan dan inovasi pembelajarannya. Perkembangan era digitalisasi ini membawa dampak positif sekaligus negatif sehingga penguasaan teknologi informasi saja tidaklah cukup, melainkan diperlukan sikap peduli teknologi untuk kemaslahatan kualitas hidup manusia yang beradab.

Menurut Chairul Tanjung (2018) saat mengisi Executive Lecture Series yang digelar Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan (PSKK) Universitas Gajah Mada, Beliau menyatakan bahwa saat ini kita mengalami dua disrupsi yang luar biasa yaitu bidang teknologi karena revolusi industri 4.0 dan gaya hidup karena adanya perubahan generasi yang menyebabkan perubahan gaya hidup. Revolusi industri 4.0 telah menjadikan perusahaan teknologi digital seperti google, facebook, youtube dan lain sebagainya merajai ekosistem dan ekonomi dunia. Saat ini data menjadi aset paling bernilai bagi perusahaan dari pada aset fisik seperti tanah, bangunan dan lain sebagainya. Indikatornya, mulai banyaknya perusahaan-perusahaan besar dunia telah melirik teknologi metaverse, sebuah dunia virtual yang diciptakan sebagai replika digital dari dunia nyata. Sebagai konsekuensi logis, perkembangan teknologi ini akan membawa dampak signifikan terhadap gaya hidup manusia masa depan.

Berbagai kajian terhadap perkembangan revolusi industri 4.0 yang dinilai berpotensi mendegradasikan peran manusia atau manusia berpotensi dikendalikan teknologi, maka ada sebuah gagasan yang memproyeksikan dinamika sosial masyarakat masa depan dirancang agar manusia dapat mengendalikan teknologi, bukan sebaliknya teknologi mengendalikan manusia. Konsep masyarakat masa depan yang digagas dan dipelopori oleh Negara Jepang dengan sebutan Society 5.0 merupakan suatu konsep masyarakat yang berpusat pada manusia berbasis teknologi. Artinya sebuah sikap yang menjelaskan bahwa sosial budaya masyarakat masa depan harus memanusiakan manusia dengan teknologi, jika kita terlalu mengedepankan teknologi tanpa memikirkan perspektif manusia, dampaknya bisa bahaya. Pemerintah Jepang sudah memperkenalkan model era super smart society 5.0 pada tahun 2019 sebagai antisipasi terhadap disrupsi yang ditimbulkan revolusi industri 4.0 yang dinilai menyebabkan komplektisitas ketidakpastian dan degradasi nilai-nilai karakter manusia. Negeri Matahari Terbit telah mengkaji dan menilai bahwa society 5.0 merupakan gagasan konsep masyarakat modern sebagai solusi dalam menghadapi tantangan dan problem yang dilahirkan dari revolusi industri 4.0.

Era revolusi industri 4.0 dan society 5.0 penuh dengan tantangan dan peluang yang tidak bisa dihindari, melainkan harus dihadapi dengan mengedepankan dunia pendidikan memegang peranan penting dalam menyiapkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia unggul. Menurut Syarif Burhanuddin (2018) selaku Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR beragumentasi bahwa perkembangan teknologi yang semakin pesat ini tidak bisa dihindari, justru harus direspon dengan kesiapan data, teknologi, dan sumber daya manusia yang memadai dikarenakan akan menjadi fitur utama dari revolusi industri yang memerlukan tiga hal yaitu movement perkembangan yang dinamis dari dunia industri harus siap dihadapi dibarengi dengan speed yang pragmatis dan dituntut serba cepat, serta people yang juga harus bisa saling berbagi komunikasi dan melakukan kolaborasi untuk menyelesaikan pekerjaan secara tepat guna dan tepat waktu. Menurut Dwi Nurani (2021) selaku Analis Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Direktorat Sekolah Dasar menegaskan bahwa untuk menghadapi era society 5.0 ini satuan pendidikan pun dibutuhkan adanya perubahan paradigma pendidikan. Diantaranya pendidik meminimalkan peran sebagai learning material provider, pendidik menjadi penginspirasi bagi tumbuhnya kreativitas peserta didik. Pendidik berperan sebagai fasilitator, tutor, penginspirasi dan pembelajar sejati yang memotivasi peserta didik untuk “Merdeka Belajar,”.

Adapun tantangan pendidikan abad 21, menurut United Nations Organization yaitu membangun masyarakat berpengetahuan (knowledge based society) yang memiliki (1) keterampilan melek teknologi informasi komunikasi dan media (ICT & media literacy skills), (2) keterampilan berpikir kritis (critical thinking skills), (3) keterampilan memecahkan masalah (problem solving skills), (4) keterampilan berkomunikasi efektif (effective communication skills); dan (5) keterampilan bekerjasama secara kolaboratif (collaborative skills). Kelima karakteristik masyarakat abad 21 tersebut di atas dapat dibangun melalui pengintegrasian teknologi digital dalam proses pembelajaran. Sebagai Pendidik harus memotivasi diri meningkatkan keterampilan melek teknologi digital agar dapat merancang, memperbaiki dan memanfaatkan instrumen teknologi kedalam proses pembelajaran yang kreatif dan inovatif sehingga mampu mendampingi dan membimbing siswanya menghadapi tantangan global abad 21. Menurut Zulkifar (2019) selaku Director of Hafecs (Highly Functioning Education Consulting Services) menilai di era society 5.0, guru dituntut untuk lebih inovatif dan dinamis dalam mengajar di kelas, harusnya guru itu mengukur dirinya sendiri, sudah benar atau belum cara dia mengajar kepada siswa, bukan justru mengukur siswanya. Oleh karena itu, sebagai Pendidik era society 5.0 harus dapat memanfaatkan teknologi dengan bijaksana, antara lain; Internet of things (IoT), Virtual/Augmented Reality (VR/AR), Artificial Intelligence (AI) dalam dunia pendidikan untuk mengetahui dan mengidentifikasi kebutuhan pembelajaran yang dibutuhkan siswa agar belajar lebih menarik, menyenangkan, kontekstual dan penuh makna.

Untuk menghadapi revolusi industri 4.0 dan society 5.0 sangat diperlukan kecakapan hidup abad 21. Menurut Future of Jobs Report 2020, World Economic Forum menjelaskan ada 10 kecakapan utama pada tahun 2025, antara lain;

a. Problem Solving

(1) Analytical thinking & innovation

(2) Complex problem solving

(3) Critical thinking & analysis

(4) Creativity, originality & initiative

(5) Reasoning, problem solving & ideation

b. Self Manajement

(6) Active learning & learning strategies

(7) Resilience, stress tolerance & flexibility

c. Working with People

(8) Leadership & social infleunce

d. Technology Use & Development

(9) Technology use, monitoring & control

(10) Technology design & programming


Menurut Kompasiana (2019), setidaknya ada 4 kompetensi pendidik abad 21, yaitu (1) Keterampilan berpikir kritis dan pemecahan masalah, (2) Keterampilan komunikasi dan kolaborasi, (3) Kemampuan berpikir kreatif dan inovatif, (4) literasi teknologi dan informasi. Tenaga pendidik era society 5.0 ini harus menjadi guru penggerak yang mengutamakan pembelajaran berpusat pada siswa, inisiatif untuk melakukan perubahan yang lebih baik, menjadi teladan yang baik bagi siswa, dan terus berinovasi menghadirkan pembelajaran yang kontekstual, menarik dan menyenangkan sehingga mampu menghantarkan siswanya dalam menghadapi tantangan abad 21. Sedangkan empat prinsip pokok pembelajaran abad 21 yang digagas Jennifer Nichols, antara lain;

a. Instruction should be student centered

Seyogyanya pengembangan pembelajaran menggunakan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa sebagai subyek pembelajaran yang secara aktif mengembangkan minat dan potensi yang dimiliki sesuai kodratnya. Siswa tidak lagi dituntut untuk mendengarkan dan menghafal materi pelajaran yang diberikan pendidik, tetapi berupaya mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilannya, sesuai dengan kapasitas dan tingkat perkembangan berfikirnya, sambil diajak berkontribusi untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang terjadi pada kondisi sosial masyarakat. Sementara pendidik berperan sebagai fasilitator yang berupaya membantu mengaitkan pengetahuan awal (prior knowledge) yang telah dimiliki siswa dengan informasi baru yang akan dipelajarinya. Memberi kesempatan siswa untuk belajar sesuai dengan cara dan gaya belajarnya masing-masing dan mendorongnya untuk bertanggung jawab atas proses belajar yang dilakukannya. Selain itu, pendidik juga berperan sebagai pembimbing, yang berupaya membantu siswa ketika menemukan kesulitan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilannya.

b. Education should be collaborative

Siswa harus belajar untuk bisa berkolaborasi dengan orang lain. Berkolaborasi dengan orang-orang yang berbeda latar ras, suku, budaya dan agama. Dalam menggali informasi dan membangun makna, siswa perlu didorong untuk bisa berkolaborasi dengan teman-teman di kelasnya. Dalam mengerjakan suatu proyek, siswa perlu belajar bagaimana menghargai kekuatan dan talenta setiap orang serta bagaimana mengambil peran dan beradaptasi secara tepat dengan mereka. Begitu juga, sekolah (termasuk di dalamnya pendidik) seyogyanya dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan (pendidik) lainnya di berbagai belahan dunia untuk saling berbagi informasi, sharing pengalaman praktik dan metode pembelajaran yang telah dikembangkannya. Kemudian, mereka bersedia melakukan perubahan dan inovasi metode pembelajarannya agar menjadi lebih baik.

c. Learning should have context

Pembelajaran tidak akan banyak berarti jika tidak memberi pengaruh terhadap kehidupan siswa di luar sekolah. Oleh karena itu, materi pelajaran perlu dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari siswa dan lingkungan sekitarnya. Pendidik mengembangkan metode pembelajaran yang memungkinkan siswa terhubung dengan dunia nyata (real world). Pendidik membantu siswa agar dapat menemukan nilai, makna dan keyakinan atas apa yang sedang dipelajarinya serta dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-harinya.

d. Schools should be integrated with society

Dalam upaya mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan beradab, sekolah seyogyanya dapat memfasilitasi siswa untuk terlibat dalam lingkungan sosialnya. Misalnya, mengadakan kegiatan pengabdian masyarakat, di mana siswa dapat belajar mengambil peran dan melakukan aktivitas tertentu dalam lingkungan sosial. Siswa dapat dilibatkan dalam berbagai pengembangan program yang ada di masyarakat, seperti: program kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup, dan sebagainya. Selain itu, siswa perlu diajak pula mengunjungi panti-panti asuhan untuk melatih kepekaan empati dan kepedulian sosialnya. Dengan kekuatan teknologi dan internet of things, siswa dapat berbuat lebih banyak lagi, ruang gerak sosial siswa tidak lagi hanya di sekitar sekolah atau tempat tinggalnya, tapi dapat menjangkau lapisan masyarakat yang ada di berbagai belahan dunia. Pendidikan perlu membantu siswa menjadi warga digital yang bertanggung jawab dan beradab.


Pendidikan Nasional diharapkan mampu mewujudkan pendidikan berkarakter dan cerdas melalui peningkatan dan pemerataan kualitas pendidikan, perluasan akses serta relevansi dalam mewujudkan kelas dunia. Untuk mewujudkan hal tersebut interaksi pembelajaran dilakukan melalui blended learning (melalui kolaborasi), project based learning (melalui proyek kegiatan yang sinergi dan berkelanjutan), flipped classroom (melalui interaksi publik dan interaksi digital). Dan sebagai sebuah refleksi yang mungkin terlintas dalam alam pikiran kita dengan adanya disrupsi dan perubahan fundamental yang ditimbulkan revolusi industri 5.0 dan society 5.0, ada yang mempertanyakan “Mungkinkah peran pendidik akan tergantikan oleh teknologi ?”. Namun ada hal fundamental dimana peran pendidik tidak dapat digantikan teknologi, yaitu interaksi dan ikatan psikologis emosional pendidik dan siswa, peran pendidik dalam internalisasi karakter dan penjaga moralitas anak bangsa.

Pendidikan dan Peradaban Bangsa

Oleh : Luluk Khotimah, S.Pd

Dewasa ini, gelombang peradaban masyarakat modern telah mengalami perubahan yang begitu cepat dan pesatnya. Arus informasi dan teknologi menjadi kekuatan dan kekuasaan yang dapat menentukan dinamika kehidupan masa kini. Menurut Alvin Toffler mengatakan bahwa ”siapa yang menguasai informasi maka ia akan menguasai kehidupan”. Shimon Peres pun berpendapat bahwa di era informasi, ada tiga kekuatan yang dominan: 1) ilmu pengetahuan, 2) teknologi sebagai penerapan ilmu pengetahuan, 3) informasi. Ketiga dominasi kekuatan ini tidak mengenal batas-batas teritorial bangsa dan negara, kekuatannya bagaikan arus gelombang yang tidak ada yang dapat menghentikan dan menghambatnya.

Perubahan dan dinamika kehidupan masyarakat modern menuntut bangsa-negara untuk menguasi informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi. Bangsa yang tidak menguasainya maka dengan sendirinya akan terhegemoni oleh bangsa-negara maju yang menguasai gelombang peradaban informasi. Indonesia sebagai salah satu negara dunia berkembang tentu memerlukan kesiapan dan kemampuan anggota masyarakatnya berupa daya adaptasi dengan nilai-nilai baru, daya saing/kompetisi, dan kreativitas untuk dapat eksis di era peradaban informasi. Pendidikan adalah media strategis untuk melakukan transformasi sosial dalam menyiapkan human resources yang cerdas, dinamis, progresif , inovatif-kreatif dan tentu mempunyai basis spiritualitas dan akhlak mulia.

Menurut Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan merupakan pilihan strategis untuk melakukan proses perubahan sosial menuju masyarakat yang cerdas, beradab, adil, makmur dan sejaktera. Pendidikan berfungsi membentuk watak peradaban sebuah bangsa yang beradab dan bermartabat. Menjadikan pendidikan sebagai agenda utama kebijakan pemerintah adalah pilihan stategis untuk menghadapi tantangan arus peradaban informasi.

Yusuf al-Qardlawi mengatakan peradaban adalah akumulasi fenomena kemajuan materi, keilmuan, seni, sastra, dan sosial pada suatu kelompok masyarakat, atau pada beberapa masyarakat yang mempunyai kesamaan. Masyarakat Indonensia adalah masyarakat yang majemuk namun mempunyai kesamaan yaitu bangsa dan Negara yang berKetuhanan Yang Maha Esa. Falsafah peradaban bangsa Indonesia mengandung unsur-unsur transendensi sebagai nilai-nilai bangsa yang berbudaya dan beradab., bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Dan untuk membangun peradaban bangsa yang beradab diperlukan entitas social yang terdidik sebagai subyek perubahannya. Menurut Elias, dkk. (dalam Ciarrochi, dkk., 2001) menyebutkan bahwa manusia yang terdidik adalah mereka yang berilmu pengetahuan (knowledgeable), bertanggung jawab (responsible), penyayang (caring) dan tidak kasar (nonviolent).

Cinta ilmu pengetahuan adalah merupakan kenikmatan dan karunia dari-Nya. Sungguh, alangkah indah dan nikmatnya ketika iman dibarengi dengan ilmu Sebagaimana Firman Allah yang artinya “ Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (Al Mujaadilah 114). Dengan demikian, potensi akal dan nalurinya akan semakin terbuka, jernih dan jenius untuk mengetahui, menangkap dan merasakan kebenaran.

Seiring dengan spirit dan ruh ajaran Islam akan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, tradisi intelektualisme adalah merupakan aktivitas kesehariannya. Menjadikan tradisi intelektualisme atau kultur ilmiah yang berupa budaya membaca, menulis, meneliti dan berdiskusi adalah perwujudan ibadah. Pembudayaan kultur ilmiah akan menjadi massif dan menyatu dalam diri kaum beriman ketika memandang bahwa tradisi ilmiah adalah proses pendidikan, sebuah usaha yang dilakukan sepanjang masa secara sistemik, tanpa terbatas ruang dan waktu, dimanapun dan kapan pun itu.

Aktivitas intelektualisme merupakan titik awal membangun peradaban. Partisipasi aktif masyarakat dalam proses pembudayaan dan pemberdayaan masyarakatnya yang peduli dan mempunyai keberpihakan mengawal agenda pendidikan dan pembelajaran di Indonesia baik di lingkungan formal, informal maupun non formal dapat mendorong dan mempercepat pertumbuhan dan perkembangan masyarakat yang terdidik. Cita-cita dan harapan mencerdaskan kehidupan bangsa dan Negara adalah merupakan tanggung jawab bersama. Kebijakan pemerintah terhadap masa depan pendidikan nasional dan memprioritaskanya sebagai agenda utama tentu akan sangat menentukan untuk perubahan dan kemajuan bangsa. Dan generasi muda adalah actor utama atau subyek perubahan. Mempersiapkan kaum muda sebagai entitas sosial yang terdidik dan terpelajar adalah merupakan representasi masyarakat yang berilmu pengetahuan. Sebagai investasi dan asset masa depan bangsa, generasi muda perlu juga dibekali kekuatan moralitas untuk menjaga nilai-nilai kebangsaan dan keagamaan sehingga tidak mudah terbawa arus kebudayaan asing yang tidak sesuai dengan mainstream masyarakat Indonesia yang religius.

Masyarakat terdidik hanya dapat terwujud melalui proses pendidikan yang demokratis, berkeadilan, dialogis dan adanya unsur keteladanan. Proses transfer ilmu dan nilai-nilai kebajikan akan dapat diterima dengan baik dan benar oleh sang penerima pembelajaran ketika posisi Guru sebagai pendidik mampu memberi teladan bagi peserta didiknya sehingga penerapan ilmu yang didapatnya menjadi bermakna dan bermanfaat. Segala upaya mengarungi samudera ilmu tanpa terbatas ruang dan waktu, menjadikan pendidikan seumur hidup sebagai prinsip atau spirit kaum pembelajar dan diniati ibadah karena mengharap ridho-Nya, akan menghantarkan masyarakat menuju peradaban manusia yang dilandasi nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Membangun peradaban manusia supaya dapat berdiri laksana bangunan yang kokoh, tidak mudah dihancurkan maka diperlukan pondasi yang kuat pula. Nilai-nilai transenden adalah merupakan pondasinya. Kekuatan keimanan dan keilmuan akan menjadi pondasi dan benteng pertahanan keberlangsungan peradaban bangsa itu sendiri. Pendidikan adalah media pembangunan peradaban manusia, tanpanya tidak akan melahirkan bangsa yang berbudaya. Natsir sebagai salah satu tokoh besar dunia yang baru saja dideklarasikan menjadi Pahlawan Nasional pernah menegaskan bahwa pendidikan adalah salah satu faktor yang menentukan maju mundurnya kehidupan masyarakat tersebut.

Dalam catatan sejarah umat manusia, Hujair AH. Sanaky mengatakan bahwa hampir tidak ada kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai alat pembudayaan dan peningkatan kualitasnya, sekalipun dalam masyarakat yang masih terbelakang (primitif). Pendidikan memegang peranan penting sebagai pendorong dan pengerak peradaban bangsa. Lahirnya kebudayaan dan peradaban bangsa tidak lain adalah karena adanya proses pendidikan yang dialogis, adanya proses interaksi antar manusia dengan potensi pengetahuan yang dimilikinya, yang semakin berkembang dari proses thesis-anti thesis menjadi sintesis, dan berulang secara terus menerus sebagai proses pencarian dan perbaikan menuju kesempurnaan.

Pelajar dan Intelektualisme

Oleh : Luluk Khotimah, S.Pd

Kehadiran pelajar sebagai entitas sosial yang terdidik dan terpelajar, ia adalah kaum intelektual muda masa depan yang hidup dalam lingkungan yang kondusif dan ilmiah. Keanekaragaman potensi pelajar, baik berupa karya/prestasi akademik maupun non akademik adalah wujud pelangi kreatifitas anak bangsa yang akan menghantarkan dan mengukir prestasi kesejarahan dunia. Pena adalah senjata utama bagi pelajar dalam mewujudkan cita-citanya, dari kata yang tersusun secara sistemik akan menjadi proposisi-proposisi , yang kemudian akan melahirkan pemikiran atau gagasan/ide untuk disebarluaskan sebagai karya intelektual dan dijadikan bahan refleksi dialektis masyarakat dalam melakukan perubahan membangun dan menata peradaban.

Eksistensi perpustakaan sebagai taman kultur belajar/ilmiah untuk mencari ilmu dan menggali informasi pelbagai gagasan atau pemikiran nampaknya memang tidak bisa disingkirkan dalam membangun peradaban manusia yang kian berkembang pesat. Fakta historis, zaman kejayaan Islam masa lalu dalam konteks ilmu pengetahuan dan teknologi telah dimulai dengan membangun ‘baitul hikmah’ yaitu perpustakaan yang dibangun pada zaman dinasti abbasiyah dan dipergunakan sebagai ruang belajar untuk membangun tradisi keilmuan atau intelektualisme.

Kerinduan reaktualisasi tradisi intelektualisme di dunia muslim adalah merupakan spirit kebangkitan peradaban Islam mewujudkan cita-citanya membangun masyarakat beradab, adil dan makmur. Pluralitas pemikiran yang lahir dari akar tradisi agama, filsafat, kalam, tasawuf dan fiqih telah tumbuh dan berkembang subur dalam tradisi intelektualisme sepanjang sejarah peradaban Islam. Kecintaan ilmu adalah spirit kaum intelektual dalam menghasilkan karya-karya besar (khazanah keilmuan) untuk kemaslahatan dan kesejahteraan ummat. Kedewasaan, kebebasan dan keterbukaan pikiran adalah sikap dan karakter kaum intelektual dalam menerima segala bentuk dan sifat konsepsi pemikiran yang berbeda-beda untuk mencari, memahami, menyusun pengetahuan dan kebenaran. Keterbukaan berfikir adalah proses upaya sadar manusia untuk memaknai dan menyusun rumusan pengetahuan dan kebenaran proposisi-proposisi. Ruh memegang peranan penting dalam mendayagunakan instrument jasad dan hayatnya, ia adalah kekuatan berfikir yang digunakan manusia untuk menangkap dan memahami teks kebenaran serta menyusun pengetahuan, yang kemudian akan menghadirkan kesadaran akan hakikat diri dan kehidupan. Untuk memunculkan kesadaran akan hakikat diri dan kehidupan, manusia dalam mengemban dan menjalankan amanah suci atau tugas kekhalifahan (Wakil Tuhan) di bumi yaitu melalui Akal. Akal adalah daya ruh manusia untuk memahami dan merasakan kebenaran, ia adalah potensi dalam diri manusia yang digunakan untuk memahami proses dinamika kehidupan, menyakini kebenaran teks suci (baca : Al Qur’an), memaknai, menyusun atau merumuskan konsepsi kehidupan dan melakukan rekayasa peradaban.

Rekayasa peradaban adalah upaya sadar yang harus dilakukan oleh negara dan civil society dalam mengubah dan menata struktur social culture, ekonomi, politik dan aspek kehidupan lainnya untuk membangun masyarakat yang beradab, adil dan makmur. Pembangunan sebuah bangsa dan negara, sesungguhnya tergantung oleh kualitas warga negaranya yaitu rakyatnya yang berilmu pengetahuan, berfikir positif, dinamis, kreatif-inovatif, progresif, berdaya saing dan menjunjung tinggi nilai-nilai universal. Ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui tradisi intelektualisme yaitu membaca, menulis, berdiskusi dan meneliti. Sebagai bangsa religius dan mayoritas muslim, membaca adalah spirit dan perintah agama sebagaimana terkandung dalam wahyu pertama yaitu surat al Alaq. Menurut Prof. Dr. Wahbah Zuhaili dalam Tafsir al Munir Jilid 7, surat al Alaq memiliki tiga cakupan yang sangat prinsipil : Pertama, menjelaskan hikmah penciptaan manusia, keutamaan perintah membaca (iqra’) dan menulis (’allama bi al qalam) sebagai keutamaan manusia dari makhluk-Nya yang lain. Kedua, menjelaskan tentang keutamakan manusia terhadap duniawi dan akhirnya hancur karena kecintaannya terhadap dunia (baca ; materialisme, hedonisme). Ketiga, mengkisahkan tentang Abu Jahal yang membangkang terhadap ajaran Nabi. Wahbah Zuhaili juga menyatakan bahwa nilai normatif yang terkandung dalam surat al Alaq ini, lebih mengajak kepada manusia untuk memahami urgensi membaca dan menulis. Dengan membaca dan menulis, tentunya akan menghantarkan manusia dari dunia kegelapan menuju dunia pencerahan.

Kesalahan sistemik yang masih menggejala dalam dunia pendidikan nasional, mulai dari lembaga pendidikan dasar, menengah sampai perguruan tinggi adalah tradisi membaca dan menulis yang bermasalah. Akar masalah krusial ini adalah karena iklim argumentasi logis seringkali hanya berlaku di ruang informal dan non formal. Sekolah formal sebagai ruang kultur belajar/ilmiah para generasi penerus bangsa (baca : pelajar), yang semestinya merupakan ruang kondusif dan ilmiah. Namun pada kenyataanya ruang ini belum bisa digunakan sebagaimana mestinya, seperti adanya fasilitas perpustakaan sekolah sebagai ruang kultur belajar (taman baca) masih minim pengunjungnya (sepi) karena sebagian besar pelajar lebih suka memilih mengunjungi tempat-tempat hiburan (baca ; mall). Pertanyaannya kemudian, kenapa hal ini terjadi?ada apa dengan life style masyarakat pelajar?ada apa dengan konsep perpustakaan sekolah kita?. Secara teknis dan praktis lemahnya tradisi menulis di kalangan pelajar dikarenakan belum adanya pelajaran secara intensif tentang teknik menulis mulai dari sekolah dasar sampai menengah atas.

Menulis adalah proses pembelajaran, aplikasi pengetahuan, gambaran peta pikiran manusia secara sistemik. Prinsip menulis adalah keterampilan (skill), menulis bukanlah kemampuan yang dapat mudah dikuasai dengan sendirinya melainkan dengan ketekunan dan kesabaran yang dilakukan dalam proses pembelajaran yang panjang karena menulis bukan hal yang mudah. Menurut perkataan Qatadah dalam Tafsir al Qurthubi, ” Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah .... ”. Bahkan Abdullah bin ’Amru, seorang ulama salaf menyatakan ”qayyidu al ilma bi al kitabah” (ikatlah ilmu dengan menulisnya).

Membaca dan menulis adalah kegiatan yang dinamis dan produktif. Membaca firman Allah, baik yang tertulis (ayat) dan terlihat (alam) sebagai fenomena dan tanda-tanda kebesaran-Nya. Menulis sebagai aplikasi pengetahuan yang diperoleh melalui proses pembelajaran yang panjang dengan penuh kesabaran, ketelitian, ketekunan, dan kejelian dalam mengungkapkan atau mengambarkan peta pikiran/pemikiran/gagasan/ide seseorang yang disusun secara sistemik. Berdiskusi adalah proses pembelajaran yang terjadi atas refleksi dialektis terhadap teks. Interpretasi teks yang terjadi dalam ruang ilmiah adalah sebuah upaya kesadaran kritis manusia memaknai dan menyusun pengetahuan dan kebenaran proposisi-proposisi.

Dan meneliti adalah merupakan proses kesadaran analitis manusia dalam mengungkap dan menemukan kebenaran melalui proses pembuktian. Keterbukaan pikiran terhadap bukti baru dan/atau yang bertentangan adalah sikap ilmiah yang harus dipegang teguh sebagai seorang filosof/ilmuwan/intelektual. Proses pembuktian dapat dilakukan dengan cara observasi, study literatur/pustaka atau dengan metode/teknik lainnya. Proses penelitian harus dilakukan secara sistemik dan metodologis. Munculnya bukti baru dan/atau yang bertentangan bisa terjadinya jika ada proses dialektika yaitu adanya thesis dan anti thesis yang kemudian terjadi dialektika untuk menemukan sintetisnya, dan hasil sintesisnya akan menjadi thesis baru yang akan berhadapan dengan anti thesisnya, yang selanjutnya tersusun sintesis baru dan proses ini secara terus menerus berlanjut.

Menjadikan intelektualisme sebagai spirit pendidikan seumur hidup (long live education) adalah wujud komitmen Islam akan kecintaan terhadap ilmu. Tradisi kultur belajar/ilmiah ini terlihat dari kecintaan akan berteman dengan buku-buku. Kebebasan dan keterbukaan berfikir akan memicu tradisi intelektualisme. Dengan menjadikan perpustakaan dan masjid sebagai taman baca dan ruang bertemu untuk berdiskusi, memenuhi kebutuhan untuk berkarya dan berprestasi sehingga kemandekan pemikiran dapat diatasi.

Pelajar adalah kelompok sosial masyarakat yang memegang peranan penting dalam mengemban amanah kesejarahan untuk melakukan perubahan dalam membangun dan menata peradaban. Pelajar adalah subyek peradaban, ia adalah merupakan generasi penerus bangsa yang lahir dan tumbuh berkembang dalam lingkungan kaum terpelajar dan terdidik, lingkungan yang kondusif dan ilmiah. Tradisi intelektualisme akan menghantarkan pelajar dari dunia ’gelap’ menuju dunia ’pencerahan’.